[#23] THE DAY BEFORE

thedaybefore

this is all that i can say.

.

a special story for my 365 Personal Playlist

ft. Actor Lee Min Ki and Song Jae Rim

[this is a yaoi fanfiction, better watch the MV before you read this.]

__

Pagi yang mendung adalah sesuatu yang adiktif, atau setidaknya, begitulah yang dipikirkan Jaerim satu jam setelah ia mengemasi barang-barangnya; siap bertandang ke rumah Minki. Lantaran musim panas baru saja berlalu, pria itu bersyukur ingat untuk mengenakan pakaian tebal dan jaket kulit. Ia tak ingin mati kedinginan sementara sahabatnya—atau bisa dikata lebih dari itu—sedang menanti.

Selasar sempit yang membagi dua pertokoan bunga hari itu nampak lengang, satu atau dua pelanggan datang dan pergi membawa sebuket bunga lili putih dengan ribbon berwarna hitam.

 

Musim gugur adalah musim berkabung. Jaerim berpikir singkat, namun tak menaruh minat pada salah satunya. Toko-toko itu hanya akan berarti jika Jaerim sedang dilanda asmara. Di tangan kiri si pria Song tergenggam koper sewarna silver cerah, isinya tak lebih dari kamera DSLR, lensa, dan tri-pod. Meski harus Jaerim akui bukan hobinya menenteng koper kemana-mana, tetapi untuk hari ini saja, demi Minki, ia akan melakukannya.

 

Sudahkah aku mengambil keputusan yang tepat? Jaerim meragukan kata hatinya dengan berhenti sejenak di depan stan buah, pemilik stan itu nampak cemberut saat tahu Jaerim tak berniat membeli labu raksasa yang mereka bangga-banggakan.

 

“Nak, lebih baik kau minggir kalau tidak beli.” Usir penjaga toko yang merupakan wanita paruh baya.

 

“Kau ada anggur, Bi?” Merasa tak enak hati pada si wanita, Jaerim berniat membeli setundun anggur hijau.

 

“Bukan musimnya, sih. Tapi coba kulihat apa aku punya sesuatu. Ingin anggur apa?”

 

“Hijau, atau apapun yang kau punya.” Jaerim menutup sementara konversasi mereka, kemudian duduk di kursi tanpa sandaran yang kakinya sudah berkarat. Sejauh ini, yang dilihatnya hanya daun, daun, dan daun. Anak-anak terlalu malas untuk keluar—mereka hanya akan berakhir dengan tugas mengumpulkan daun maple—dan orang tua mereka sedang mengambil cuti kantor dengan menonton televisi sepanjang hari, membuat kostum Halloween, atau menyusun daftar menu untuk perayaan Hanukkah.

 

Jaerim tersenyum kecil. Mengingat Halloween berarti mengingat hari pertama ia bertemu Minki. Meski tidak tepat pada tanggal itu, Jaerim ingat benar kostum konyol apa yang dikenakan Minki demi memeriahkan acara kampus, pun  berujung memalukan dengan mendapat penghargaan kostum terburuk juara satu.

 

Merasakan tenggorokannya tercekat, Jaerim jadi muak dengan pertemuan-pertemuan mereka di masa lalu. Perutnya melilit tanpa bisa dikendalikan. Pria itu tidak tahu mana yang lebih menyakitkan di antara dua opsi; membantu Minki melangsungkan rencana gilanya hari ini atau tak bertemu Minki sama sekali sepanjang hidupnya.

 

“Hei, Nak. Semuanya sepuluh ribu won, maaf hanya ini yang kumiliki.” Wanita itu menyodorkan sekantung plastik berisi buah yang dipesan Jaerim, lantas menunggu sembari berkacak pinggang sementara Jaerim dengan susah payah merogoh saku. “Uang pas saja ya.”

 

Meski Jaerim menyesal sudah tak enak hati pada wanita ini, ia tetap mengulurkan uang pas sesuai permintaannya. “Semoga tokomu padat pelanggan, Bi.”

 

“Tentu saja! Mereka akan datang cepat atau lambat, mungkin puk—“

 

Tak berniat mendengarkan celoteh nyaring itu, Jaerim lebih suka hengkang dari sana secepat mungkin, ia terus berjalan sampai ke rute terakhir menuju rumah galeri kepunyaan Lee Min Ki.

 

Rumah yang penuh inspirasi. Jaerim memuji dalam hati, dan ia akan terus memuji sampai tiba waktunya berhadapan langsung dengan sang pemilik rumah. Karena, demi apapun, pria itu adalah pria terkuat yang pada akhirnya tak kuasa menahan beban hidup yang pernah dikenal Jaerim. Sosok dengan hati seluas langit dan mata sedalam samudra; figur sahabat yang paling Jaerim kagumi setengah mati.

 

Rumah galeri itu nampak begitu anggun dengan guguran daun yang menghiasi pelatarannya, Jaerim mengambil langkah sedepa, kemudian berangsur-angsur mendekati pintu.

 

Tiga kali ketukan pertama dan respon langsung terdengar. “Masuklah, Jae.”

 

Jaerim menenangkan hatinya terlebih dahulu sebelum melewati daun pintu, ia tersenyum tipis melihat Minki berkutat dengan jurnalnya. Berbingkai-bingkai lukisan surealis menggantung megah di dinding putih, menimbulkan kesan bahwa rumah ini adalah kotak mimpi belaka.

 

“Aku bawa anggur hijau untukmu.” Jaerim melenggang ke konter setelah menyusun kameranya dengan benar. Ia mengambil piring keramik putih dan segelas kecil jus cranberries. “Apa yang kau tulis, hm?”

 

“Tidak tahu, kupikir ini semacam catatan random yang tak kumengerti isinya. Bahkan saat kau berkata bahwa akulah penulisnya, aku masih tidak mengerti mengapa aku menulis ini, tapi—“

 

‘Tapi?”

 

“Kupikir kau mau membacanya, eh?” Minki membalik jurnal tersebut dan meletakkan pensil di atasnya, kemudian mendorong benda itu hingga bisa dijangkau Jaerim.

 

Sepiring anggur hijau dan segelas jus di masing-masing tangan, kemudian Jaerim mulai memastikan kameranya benar-benar siap. “Kau yakin aku harus merekam ini?”

 

“Tidak pernah seragu kemarin.” Tutur Minki sembari mengisi ulang cangkir kopinya.

 

“Kalau begitu, dalam hitungan mundur dari angka tiga, kau sudah harus bicara.” Jaerim menarik napas, memberi aba-aba pada Minki menggunakan ketiga jarinya.

1

.

.

2

.

.

3

.

.

Dan rekaman itu dimulai.

 

“Hai, aku Lee Min Ki.” Salamnya terdengar begitu hangat, tulus, dan jauh dari kesan takut.

 

“Hai, aku Song Jae Rim, sahabatmu. Astaga, ini terlalu canggung.” Jaerim tertawa setelahnya, diikuti kekeh lembut Minki yang menyebabkan getaran tak nyaman pada diri Jaerim. “Baiklah, lanjutkan.”

 

“Bertahun-tahun lalu, seperti yang kau tahu, aku menyimpan leukimia-ku dan kita tidak pernah membicarakan ini sepanjang hari berikutnya. Tetapi terhitung bulan September, tubuhku menolak untuk sembuh. Perawatan, terapi, pil, infus, dan benda-benda yang mereka yakini mutakhir nyatanya tak bisa membantuku. Jadi, apa bedanya aku mati seakarang atau nanti?” Ada jeda menggelisahkan setelah itu.

 

“Kau sudah berusaha keras, Lee Min Ki.”

 

“Aku tahu, dan ini akan menjadi terserah padaku jika aku ingin menyerah. Bukan begitu, Jaerim?”

 

“Ya.” Hanya itu yang bisa disampaikan Jaerim sementara kalimat aslinya menggantung di ujung lidah, ia ingin menambahkan ‘meski demikian, meski kau dibuang dari keluargamu dan terpaksa memakai marga ibumu, meski kau sakit dan tak seorang pun tahu, aku masih ada di sini. Jadi tolong hentikan acara konyol ini dan katakan padaku kau ingin hidup.’

 

“Aku di sini bukan karena terpaksa, atau dipaksa, dan ingin membuat pengakuan yang mungkin terdengar sinting. Tetapi, well, aku menyukai seseorang.”

 

“Benarkah? Siapa dia?” Jaerim mengerutkan dahi.

 

“Siapa lagi memangnya?” Minki memandang Jaerim penuh arti, klausa-klausa akan terbuang percuma jika dibandingkan tatapan sedalam yang diberikan Minki sekarang. Jika boleh membuat perbandingan, tatapan itu adalah segenap rasa yang dipendamnya mati-matian selama ia mengenal Jaerim. Perasaan cinta yang melebihi seorang sahabat, yang mungkin akan dihakimi banyak orang sebagai perasaan yang salah.

 

Kau menyukaiku, Minki? Oh, seharusnya aku tidak terkejut.

 

Alih-alih menjawab, Jaerim malah tersenyum tipis. Ia menatap kedua manik Minki secara blak-blakan, seolah menagih penjelasan dari apa yang baru saja diakuinya. Sementara waktu berlalu bagai hitungan mundur menuju hari akhir, Minki membolak-balik novel kesayangannya, berharap menemukan sesuatu yang berarti di sana.

 

“Kau mau memaafkanku karena pengakuan ini, huh?”

 

“Memangnya aku terlihat akan membencimu?”

 

“Tidak.” Minki tertawa, itu kedengarannya seperti mengejek diri sendiri. “Kau tidak pernah membenciku, bukan?”

 

“Siapa yang bisa membenci manusia naif sepertimu, Lee Min Ki? Profesor Jung saja tak berkutik kalau sudah berhadapan denganmu.”

 

Lalu Minki tertawa lagi, kali ini disertai nada yang kepalang menyedihkan untuk didengar. “Kau benar, aku memang sulit dibenci. Meski demikian, sepertinya hidup sedang membenciku dengan membebankan penyakit ini.”

 

“Jika kau berpikir begitu, maka jadilah. Omong-omong, sejak kapan kau menyukaiku?”

 

“Haruskah kujawab?”

 

“Ayolah, pertanyaan itu mudah sekali.”

 

“Sejak semester tiga, dan sampai sekarang pun perasaanku masih sama.” Minki menundukkan kepala, ia terlihat benar-benar pucat. Sejurus kemudian ia menyeruput kopi yang sudah dituangnya sejak kedatangan Jaerim beberapa menit silam.

 

“Maaf karena tidak menyadarinya lebih awal.”

 

“Jangan bicara menggunakan nada sendu. Aku benci itu.”

 

“Lalu aku harus bagaimana?”

 

“Bagaimana apanya? Yang hendak mati kan aku, bukan kau.” Minki tersenyum lagi, senyum yang kali ini sukses menyeret keluar air mata Jaerim. “Sepertinya aku sudah terlalu lama berbasa-basi.”

 

Dia akan menuangkannya.

.

.

.

.

.

.

 

Dan, benar.

 

Minki menuang cairan bening dalam botol kaca seukuran jari tengah ke dalam kopinya. Wajahnya terlihat begitu pasrah, pun sama sekali tak menyadari ekspresi terkejut Jaerim saat tahu bahwa Minki menuangkan semua racunnya tanpa sisa.

 

“Hei, bodoh, tidak perlu sebanyak itu!”

 

“Kau mau jamin aku akan mati cepat kalau kutuangkan separuhnya?”

 

Minki terdiam, jemarinya menyapu bibir gelas yang mewadahi jus cranberriesnya.  Seperti menyaksikan kematiannya sendiri, Song Jae Rim duduk dengan sekujur tubuh bersimbah keringat, tangannya gemetar, dan kedua netranya tak siap menerima pemandangan berikutnya.

 

“Aku sudah…meminum…semuanya.”

 

Sekarang siapa yang sedang menghukum siapa? Minki tidak mungkin menang melawan suratan takdir, dan dia lebih memilih menghukum takdir dengan mati lebih cepat. Supaya ia bisa mencemooh takdir itu dan bahagia sebab tidak mati pada hari yang ditentukan.

 

Hening lama selagi racun tersebut terserap ke pembuluh darah Minki; mematikannya, mencumbunya dalam kegelapan dan pekat total. Kelopak mata Minki bahkan terlihat sayup setelah semenit berlalu.

 

“Kau…ingin dengar…kalimat terakhirku?” Katanya dengan terbata-bata, dahinya mengernyit menahan sakit.

 

“Katakan. Dan kumohon buat ini menjadi cepat.” Jaerim sudah mulai menangis.

 

“Selama hidupku—“ jeda terjadi selagi Minki mengaduh “—kau adalah teman terbaik yang pernah kumiliki. Kau…selalu memberikan nasehat tanpa…menghakimiku untuk…mematuhinya. Bahkan sekarang…kau bersedia melihatku…mati.”

 

“Lanjutkan.” Jaerim menegang di tempat, hatinya sudah kalut dan pikirannya telah terbang kemana-mana.

 

Entah ini ilusi atau tidak, Jaerim seperti melihat malaikat maut sedang memandangi kanvas-kanvas di belakang punggung Minki, menunggu saat kematiannya benar-benar tiba.

 

“Aku…sangat mencintai…mu, Song Jae Rim. Hanya itu…yang…bisa kukatakan.”

 

Minki terbatuk beberapa saat, ia menengadahkan kepala sembari membisikkan nama Jaerim berulangkali. Namun—seperti perjanjian awal mereka—Minki tidak akan suka jika Jaerim menghambur  ke arahnya dan melontarkan kata-kata duka. Minki hanya ingin Jaerim duduk di sana, memandang, terluka sendiri, dan melihatnya menjadi mayat.

 

Kemudian pada satu tarikan napas terakhir, Lee Min Ki benar-benar terbebas dari pahitnya dunia ini.

 

Jaerim tersenyum; jenis senyum yang mengambang di antara senang dan sedih.

 

“Dasar bodoh, kau bahkan tidak memberiku kesempatan mengatakan bahwa aku juga mencintaimu.” Jaerim membiarkan kalimat itu terekam oleh kameranya, kemudian menekan tombol stop dan beranjak dari kursi; melangkah ke arah Minki.

 

“Bagaimana? Kau sudah tenang, hm?” Jaerim menepukkan tangannya ke ubun-ubun Minki, lantas memeluk tubuh kosong itu begitu erat. “Seharusnya aku tidak membiarkan ini terjadi.”

 

Meski berat hatinya meninggalkan, namun Song Jae Rim hanya ingin mematuhi perjanjian mereka sampai akhir.

 

“Jangan panggil polisi, mengadu ke tetangga, atau memberi tahu keluargaku soal ini. Tinggalkan aku sampai ada yang menemukan jasadku. Mengerti?”

.

.

.

.

Ya, tentu aku mengerti.

.

.

.

.

.

.

Yang tidak kumengerti hanyalah satu: mengapa takdir tidak berpihak pada manusia sebaik dirimu?

3 thoughts on “[#23] THE DAY BEFORE

  1. liakyu says:

    WHOA. Super sekali Tina!
    Angst-nya kerasa banget dan aku sukaaaaa. Angst is lyf.
    Dan si Lee Min Ki ini bener-bener model yang ada di MV???? Kalo Song Jae Rim-nya aku tau sih HOHO. Mereka cocok sih, ya. LOL.MV-nya kelewat panjang sih menurutku, lebih enak baca langsung ff-mu hehe.
    Nice. Keep writing ya tinaaa ❤
    p.s. boleh gak ya kalo aku request ff angst, but secara personal HOHOHO.

    • chioneexo says:

      Iya kak, Lee Min Ki ini yang mati minum racun T_____T
      demi apa aku baper lihat MV nya, lagunya pun mendukung banget. Mereka berdua kemistrinya dapet, seolah-olah itu konversasi terakhir sebelum Minki mati. Dan yang paling bikin melting itu si Jaerim, dia itu tipe orang yang ‘terserah kamu mau ngapain, itu kan hidupmu’.
      kalau kakak pingin request, sekalian aja di requestin/? ke 365 Personal Playlist, soalnya untuk length yang lebih panjang dari ficlet keknya aku masih belum sanggup /fokus ke challenge 365 dulu, hehehe/
      boleh request dua kali kok kak, dan special buat kak Lia, yaoi boleh deh :3

      ps : sebenernya aku udah nggak nulis yaoi udah sejak lama, tapi kalo ‘kesenggol’ sama MV berbau yaoi gitu aku langsung kumat lagi. mumpung belum waras sepenuhnya/? monggo kak Lia request lagi 😀

      • liakyu says:

        Aku juga rencananya gitu, tapi aku gak nemuin lagu yang pas, tin. Gimana dong :””” aku cuma mau BL+angst aja gitu. Sebenernya aku juga udah lama gabaca yaoi. Waras sesaat. Tapi gegara baca ini ugh, kepingin lagi deh. Bahasa kamu cocok banget sih soalnya! HAHAHA.

leave some golds...